Selasa, 12 April 2011

[rituximab] obat kanker pertama di dunia

Jakarta, 5 Maret 2004. Data terkini dari kelompok periset limfoma dunia (GELA atau Group d’Etude des Lymphomes de l’adulte – dikenal dengan studi GELA) yang telah dikeluarkan baru-baru ini menunjukkan bahwa para pasien kanker kelenjar getah bening (limfoma) yang diobati dengan Rituximab dan CHOP (kemoterapi konvensional untuk limfoma) ternyata dapat hidup lebih lama dibandingkan dengan yang mendapatkan kemoterapi CHOP saja.

Dalam studi ini pasien yang menerima kombinasi Rituximab dan CHOP ternyata 53%-nya tetap hidup setelah 3 tahun. Sementara itu, hanya 35% dari pasien yang diobati dengan CHOP saja yang tetap hidup setelah 3 tahun. Hal penting yang patut dicatat pula adalah bahwa penambahan Rituximab tidak menambah toksisitas (sifat meracuni) dan efek samping CHOP.

Data ini disampaikan oleh Prof Mark Hertzberg dari University of Sidney sebagai pembicara pada Simposium Nasional Kanker Tahunan Pertama, yang berlangsung sejak 4-6 Maret 2004 di Hotel Borobudur, Jakarta



 
 
ini gambar sang penemunya 


 
 
PERKEMBANGAN SAAT INI : 
 
Hasil ini menunjukkan suatu terobosan nyata pada pasien dengan NHL (Non Hodgkin’s Lymphoma – kanker kelenjar getah bening yang agresif). Kombinasi terapi ini adalah terapi pertama dalam 20 tahun yang memberikan perbaikan bermakna bagi pasien dengan angka harapan hidup jangka panjang,” demikian komentar Profesor Bertrand Coiffier, yang disitir oleh Prof Hertzberg di Jakarta hari ini. Profesor Bertrand adalah Kepala Departemen Hematologi, Hospices Civiles de Lyon, Perancis dan bertindak sebagai peneliti utama pada studi GELA.

“Hal ini menegaskan bahwa Rituximab plus CHOP menjadi standar emas baru untuk kanker kelenjar getah bening yang agresif. Rituximab + CHOP adalah pengobatan termutakhir yang terbukti meningkatkan angka harapan hidup dan kesembuhan tanpa peningkatan toksisitas. Mereka yang menderita limfoma non-Hodgkin tipe agresif disarankan agar diupayakan untuk mendapat kombinasi Rituximab + CHOP bila memungkinkan,” lanjut Prof. Hertzberg.

Rituximab; Antibodi Pertama Untuk Kanker Kelenjar Getah Bening
Rituximab adalah terapi antibodi pertama untuk NHL yang bekerja dengan metode ‘cari dan musnahkan’. Tidak seperti kemoterapi yang dapat merusak sel normal, Rituximab bekerja spesifik hanya pada sel tumor saja dan tidak mengganggu sel-sel induk normal.

“Rituximab merupakan antibodi monoklonal pertama di dunia yang telah terbukti efektif melawan kanker kelenjar getah bening dan kehadirannya merupakan revolusi dalam standar penatalaksanaan NHL,” dr. Jack Pradono Handojo, Manager Medis Divisi Onkologi PT. Roche Indonesia menjelaskan kepada media.

Pada kasus Limfoma Non-Hodgkin tipe Agresif, studi GELA telah membuktikan bahwa kombinasi R-CHOP ternyata lebih baik dibandingkan dengan CHOP saja (angka survival 53% Vs 35%). Hal ini menandakan peningkatan potensi kesembuhan secara bermakna.

Pada kasus Limfoma Non-Hodgkin tipe Indolen, studi yang dipresentasikan pada kongres ASH (American Society of hematology) baru-baru ini menunjukkan bahwa kombinasi Rituximab + CVP (Cyclophosphamide-Vincristine-Prednisolone) terbukti lebih efektif. Pasien NHL indolen terbukti bebas dari kekambuhan lebih lama (26 vs 7 bulan) yang secara statistik bermakna dibandingkan dengan hanya pemberian CVP saja. Juga dibuktikan meningkatnya angka respon lengkap empat kali lipat (41% vs 10%). Kedua hal ini – bebas kekambuhan lebih lama dan respon yang lebih baik – menjelaskan mengapa kombinasi Rituximab menjadi standar penatalaksanaan baru limfoma non Hodgkin dan berpotensi mengubah riwayat perjalanan penyakit. Hasil ini juga menunjukkan manfaat nyata pada kedua jenis pasien – baik indolen maupun agresif – sehingga merupakan terobosan besar di bidang penatalaksanaan limfoma non-Hodgkin.

Rituximab ditemukan oleh IDEC Pharmaceutical Corp dan dikembangkan bersama oleh IDEC, Genentech, Inc, Roche dan Zenyaku Kogyo Co. Ltd Jepang. Pada bulan Juli 1998, Genentech memberikan hak pemasaran ekslusif Rituximab di luar Amerika Serikat. Rituximab dipasarkan di AS, Kanada dan Jepang sebagai Rituxan dan di tempat lain dengan nama MabThera. Di Indonesia, Rituximab masih dalam tahap pengkajian oleh Badan POM namun telah dapat digunakan secara selektif untuk pasien yang membutuhkan di bawah pengawasan dokter melalui program Special Licence

cuma perkembangan sampai tahun 2006 ada beberapa juga yang beberapa terlalu banyak mengkonsumsi jadi kaya gini efeknya... 
 
 
 
 
 
 
sumber : http://www.kaskus.us/showthread.php?t=4161953 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar